A. Asal Mula Kesultanan Banten
Kesultanan Banten awalnya hanya sebuah kadipaten
yang berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Padjajaran yang bercorak Hindu.[1] Wilayah kerajaan ini merupakan salah
satu wilayah yang berpengaruh dalam jalur perdagangan internasional.[2] Banten merupakan salah satu pelabuhan
terpenting kerajaan ini
dan wilayah lain, di antaranya,
Pontang, Tangerang, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Ekspor utama pelabuhan Banten
adalah lada dan beras. Posisi Banten yang sangat strategis membuat wilayah ini
menjadi tempat transit pedagang dari negara-negara lain seperti
Maladewa serta kerajaan-kerajaan lain.[3]
Pada tahun 1522 Jorge d’ Albuquerque, Gubernur Portugis di Malaka, mengirim Henrique menemui
Raja Samiam[4] di Sunda untuk mengadakan perjanjian
dagang dengannya. Pada tanggal 21 Agustus kesepakatan dagang antara Portugis
dan Sunda Kelapa akhirnya disepakati. Dalam perjanjian ini, Kerajaan Sunda
berkewajiban membayar 1000 bahar lada setiap tahunnya dan Kerajaan Sunda Padjajaran memberikan sebuah wilayah untuk dijadikan benteng
Portugis. Sebagai imbalannya, Portugis akan melindungi Kerajaan Sunda Padjajaran dari serangan Kerajaan Islam yang saat itu telah
berkembang di Pulau Jawa bagian tengah.[5] Akhrinya, Portugis diberikan izin
untuk mendirikan kantor dagang di Sunda kelapa.
Perjanjian dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa tersebut tidak berhasil. Hal ini dikarenakan pada tahun
1925 wilayah Banten berhasil direbut dari kekuasan Sunda Padjajaran oleh pasukan dari Kesultanan Demak, salah satu
kerajaan Islam di pulau Jawa.[6] Pasukan ini dipimpin oleh seorang guru besar
serta panglima militer yang handal yang berasal dari sebenarnya berasal dari
Pasai, yaitu Fatahillah. Beliau diutus langsung oleh Kerajaan Demak yang saat
itu diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Trenggono. Alasan
mengapa Fatahillah diutus untuk menaklukkan Jawa Barat sebenarnya adalah untuk
menghalau pengaruh Portugis yang saat itu sudah melakukan perjanjian dagang
dengan kerajaan Sunda Padjajaran.[7]
Pada tahun 1526, Sultan Trenggono mengutus Syarif
Hidayatullah beserta pasukannya untuk menaklukkan Jawa Barat agar Portugis
tidak dapat memasuki wilayah tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh
Fatahillah beserta pasukannya berhasil. Wilayah Banten akhirnya jatuh ke tangan
Kesultanan Demak. Sebagai orang yang memimpin penaklukan tersebut, Syarif Hidayatullah
langsung diberikan wewenang oleh Sultan Trenggono untuk memimpin wilayah Banten.[8]
Pada tahun 1552, Syarif Hidayatullah diharuskan
kembali ke Cirebon. Cirebon merupakan wilayah yang dipimpin oleh Syarif
Hidayatullah sebelum Banten. Setelah berhasil menaklukkan Banten, Syarif
Hidayatullah diperintahkan oleh Sultan Trenggono untuk mengatur wilayah
tersebut sehingga wilayah Cirebon diserahkan kepada salah seorang putra dari Syarif Hidayatullah yang bernama Pangeran Pasarean.[9] Namun, putra yang diberikan mandat untuk memimpin
wilayah Cirebon tersebut wafat mendahului ayahnya. Alhasil, Syarif Hidayatullah
pun hijrah ke Cirebon untuk menggantikan putranya tersebut. Daerah Banten
diserahkan kepada putra lainnya yang bernama Hassanudin.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggono, Sultan
kerajaan Demak gugur dalam penyeranganKerajaan
Demak ke Pasuruan. Hal ini menyebabkan terjadinya kekacauan dalam tubuh Kerajaan
Demak sendiri. Negara-negara bagian atau kadipaten berusaha untuk memisahkan
diri.[10]Kerajaan Banten yang saat itu dipimpin oleh
Hassanudin merupakan salah satu kadipaten yang ikut berusaha melepaskan diri
dari kerajaan induknya, Demak. Akhirnya pada tahun 1568, Banten benar-benar
terlepas dari kerajaan Demak. Pada tahun tersebut pula, Kerajaan Banten resmi
berdiri dengan Maulana Hassanudin sebagai Sultan pertamanya.[11]
B. Masuknya Islam ke Banten
Islam telah memasuki wilayah
Banten sebelum Kesultanan Banten berdiri. Agama ini dibawa oleh para pedagang
Arab pada akhir abad ke-15.[12] Karena itu, posisi Banten sebagai jalur
perdagangan internasional sangat menentukan dalam penyebaran Islam ke tanah
Banten ini.
Setelah itu, Islamisasi di Banten
dilanjutkan oleh seorang pemuda yang bernama Syarif Hidayatullah.[13] Beliau adalah cucu dari Prabu Siliwangi dari
putrinya yang menikah dengan seorang pemimpin Ismailiyyah. Syarif Hidayatullah
yang saat itu baru kembali ke tanah kelahiran ibundanya, Cirebon, mulai
berdakwah di tanah Pasundan. Di Banten, beliau menikah dengan adik dari
Bupati setempat yang bernama Nyai Kawunganten. Dari penikahannya ini, lahirlah
dua anak, yakni Ratu Winahon dan Hassanudin.[14] Bersama putranya, Syarif Hidayatullah menyebarkan
agama Islam hingga ke arah Gunung Pulosari.[15]
Setelah Syarif Hidayatullah
kembali ke Cirebon, perjuangan dakwah Islam di Banten dilanjutkan oleh
Hassanudin. Beliau berkelana dari Gunung Pulosari hingga Ujung Kulon. Dalam
menyebarkan ajaran Islam, Hasanuddin menggunakan budaya penduduk setempat.[16] Karena itu, dakwahnya cepat diterima oleh
masyarakat. Cara ini terus dilakukan oleh Hasanuddin hingga pada tahun 1525,
beliau berhasil merebut kekuasaan Banten dari kerajaan Sunda Padjajaran dan mendirikan Kesultanan Islam.[17] Mulai saat itu, Islam disebarkan di Banten
melalui kekuasaan.
C. Raja- Raja Kesultanan Banten
Sultan pertama yang memerintah Banten adalah
Sultan Maulana Hasanudin. Beliaulah yang berhasil membebaskan Banten dari
kekuasaan Kerajaan Demak. Maulana Hasanudin kemudian mengubah wilayah yang
semula hanyalah sebuah kadipaten tersebut menjadi kesultanan.
Sultan Maulana Hasanudin adalah putra dari Syarif
Hidayatullah, tokoh penaklukan Banten dari Kerajaan Sunda Padjajaran. Maulana
Hasanudin memerintah dari tahun 1552 hingga 1570. Selama pemerintahannya,
Sultan Maulana Hasanudin lebih fokus pada perluasan wilayah perdagangan dan
tata keamanan kota. [18]
Sultan kedua yang memimpin Banten adalah Maulana
Yusuf. Beliau adalah putra pertama dari Sultan Maulana Hassanudin dengan
seorang putri Sultan Trenggono. Sama seperti ayahnya yang menggantikan
kakeknya, beliau juga mewarisi tahta ayahnya. Sedangkan adiknya, Sunan Parwoto,
menjadi Pangeran Jepara.[19] Maulana Yusuf memerintah selama 10 tahun mulai
tahun 1570 hingga akhir hayatnya pada tahun 1580.
Sultan ketiga yang memegang tampuk pemerintahan
Banten adalah Maulana Muhammad, putra Maulana Yusuf. Beliau diangkat menjadi
seorang Sultan pada usia yang sangat muda.[20] Hal ini menyebabkan adanya perseteruan antara
dirinya dan pamannya, yakni Pangeran Jepara. Alhasil, pada masa
pemerintahannya, Maulana Muhammad harus menghadapi perlawanan dari pamannya
sendiri. Namun, dengan dukungan ulama-ulama Banten, Maulana Muhammad berhasil
membendung serangan Pangeran Jepara. Beliau pun dapat mempertahankan tahtanya.[21]
Sultan lainnya
yang pernah memerintah Kesultanan Banten antara lain: 1. Sultan Abdul Mufahir
Mahmud Abdul Kadir (1605-1640), 2. Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (1640-1650), 3.
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), 4. Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji
(1682-1687), 5. Abdul Fadhl atau Sultan Yahya (1687-1690), 6. Abul
Mahasin Zainul Abidin (1690-1733), 7. Muhammad Syifa Zainul Ar atau Sultan
Arifin (1733-1750), 8. Muhammad Wasi Zainifin (1750-1752), 9. Syarifuddin Artu
Walikul Alimin (1752-1753), 10. Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773), 11. Abul
Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799), 12. Muhyidin Zainush Sholihin
(1799-1801), 13. Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802), 14. Wakil Pangeran
Natawijaya (1802-1803), 15. Aliyuddin II (1803-1808) , 16. Wakil Pangeran
Suramanggala (1808-1809), dan 17. Muhammad Syafiuddin (1809-1813).[22]
D . Masa Kejayaan Kesultanan Banten
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa. Kejayaan tersebut berhasil diraih dalam berbagai bidang
seperti politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, maupun keagamaan.[23] Dalam bidang politik misalnya, Banten
selalu membangun hubungan persahabatan dengan daerah-daerah lainnya.
Daerah-daerah sahabat Banten yang berada di wilayah nusantara antara lain
Cirebon, Lampung, Gowa, Ternate, dan Aceh. Selain itu, Kesultanan Banten juga
menjalin hubungan persahabatan dengan negara-negara lain yang jauh dari
nusantara. Salah satunya adalah dengan mengirim utusan diplomatik ke Inggris
yang dipimpin oleh Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada 10 November
1681.[24]
Dalam bidang ekonomi, Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil mengembangkan perdagangan Banten. Pada masanya, Banten menjadi salah
satu tempat transit utama perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari berbagai negara,
seperti Inggris, Perancis, Denmark, Portugis, Iran, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina,
Malayu, dan Turki datang ke sini untuk memasarkan barang komoditas dari negeri
mereka.[25] Walaupun saat itu Banten menghadapi persaingan
dengan VOC, tetapi Sultan Ageng Tirtayasa tetap mampu menarik pedagang
mancanegara tersebut untuk tetap berdagang di Banten. Hal ini disebabkan Banten tidak menerapkan monopoli perdagangan
seperti yang dijalankan oleh VOC.[26]
Sultan Ageng
Tirtayasa juga mendirikan keraton baru di wilayah Tirtayasa untuk memperkuat
pertahanan kesultanannya. Dengan pembangunan keraton ini, wilayah Tirtayasa
terus dibuka. Beliau membangun jalan dari Pontang ke Tirtayasa. Tidak hanya itu, Sultan Ageng juga
membuka lahan-lahan persawahan sepanjang jalan tersebut serta mengembangkan
pemukiman warga di daerah Tangerang.[27]
E . Keruntuhan Kesultanan Banten
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa,
Belanda sudah memulai taktik untuk menghancurkan Banten dari dalam, yakni
dengan menghasut Sultan Haji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda
mengadu domba Sultan Haji dengan ayahnya. Mereka menyebarkan isu bahwa orang
yang akan menjadi pewaris tahta Banten adalah Pangeran Purbaya saudara Sultan Haji.[28]Hal ini membuat Sultan Haji merasa iri hati dan
memutuskan untuk melancarkan serangan melawan ayahnya sendiri.
Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji akhirnya
dapat melumpuhkan kesultanan Banten. Bahkan, karena peperangan antara ayah dan
anak ini, Keraton Surosowan yang dibangun oleh nenek moyangnya
hancur rata dengan tanah. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya dipenjara di Batavia
hingga meninggal pada tahun 1692.[29] Alhasil, Sultan Haji yang bekerja sama dengan
Belanda pun naik tahta.
Sejak saat itu,
Kesultanan Banten sangat dipengaruhi oleh Belanda. Terlebih lagi setelah Sultan
Haji mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda. Namun, perjanjian yang
dilakukan oleh Sultan Haji dengan Belanda ini justru merugikan Sultan Haji.
Beliau harus membayar 12.000 ringgit dan menyetujui pendirian Benteng Speelwijk. Akibatnya, ekonomi
dan politik Banten di monopoli oleh Belanda. Pergantian sultan selalu dicampuri
dengan kepentingan Belanda. Pemberontakan pun terus terjadi. Kesultanan Banten
perlahan-lahan mulai mengalami kemunduran.[30] Puncaknya, pada tahun 1808 Belanda menghancurkan Istana
Surosowan dan menggantinya dengan Kabupaten Serang, Waringin, dan Lebak di bawah
pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1813, Pemerintahan Inggris membubarkan
Kesultanan Banten dan Pangeran Syafiudin yang sedang berkuasa dipaksa untuk
turun tahta. Saat itulah Kesultanan Banten runtuh.[31]
F. Peninggalan Kesultanan Banten
Peninggalan pertama dari
Kesultanan Banten adalah Masjid Agung Banten. Masjid Agung Banten dibangun oleh
Sultan Banten, yakni Maulana Hassanuddin dan putranya Maulana Yusuf pada
bulan Dzulhijjah tahun 966 H atau 1566 M.[32] Masjid Agung ini merupakan salah satu peninggalan
yang sangat penting dikarenakan itu adalah
salah satu dari 4 komponen utama yang “wajib” ada di pusat kota Jawa zaman
dahulu.[33] Masjid ini berlokasi di Desa Banten Lama,
Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.[34]
Masjid Agung Banten memiliki
keunikan arsitektur tersendiri. Hal ini dikarenakan Masjid Agung Banten
dirancang oleh tiga orang arsitek yang berasal dari tiga bangsa yang berbeda.
Tiga orang arsitektur tersebut adalah Raden Sepat, seorang arsitek yang berasal
dari Majapahit yang juga menggarap Masjid Cirebon, Tjek Ban Tjut yang berasal
dari Cina serta Hendrik Lucaz Cardeel, seorang Belanda yang sudah masuk Islam
dan menjadi anggota kesultanan. Masjid ini memiliki tiga corak arsitektur yang
berbeda. Yang pertama, arsitektur lokal yang bisa terlihat dari empat sakaguru yang
menopang masjid ini. Di tengahnya terdapat mimbar berukiran lokal. Arsitektur
kedua adalah Cina yang terlihat dari bentuk atap paling atas masjid yang khas
dengan bentuk atap Cina. Selain menegaskan kebudayaan Cina, atap masjid yang
bertingkat lima juga menyimbolkan rukun Islam. Arsitektur yang ketiga adalah
Belanda yang dipoleskan pada Menara setinggi 24 m yang berdiri tegak di sebelah timur masjid.[35] Dengan model tangga spiral serta kepala dua
tingkatnya, menara ini menjadi pelengkap tiga kebudayaan yang
diabadikan. Pada zaman dahulu menara ini difungsikan untuk mengumandangkan
adzan serta sebagai menara pandang lepas pantai atau mercusuar.[36] Karena hasil karyanya ini, dua dari mereka
dianugerahi gelar Bangsawan yaitu Tjek Ban Tjut yang diberi nama Pangeran
Adiguna dan Hendrik Lucaz Cardeel dengan nama Pangeran Wiraguna.
Selain bangunan-bangunan di atas,
di kompleks masjid ini juga ada sebuah paviliun di sebelah selatan masjid yang
bernama Tiyamah. Bangunan ini berbentuk persegi empat bertingkat.
Bangunan ini biasanya digunakan untuk musyawarah tentang permasalahan
keagamaan. Di kawasan ini terdapat juga makam Raja- raja Kesultanan Banten.[37] Kini masjid ini menjadi salah satu objek wisata
yang padat dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang biasanya
bermaksud untuk berziarah. Namun, tidak jarang juga masjid ini menjadi tujuan
bagi turis-turis asing yang ingin melihat keindahan sisa-sisa kejayaan Kesultanan
Banten.[38]
Peninggalan lain dari Kesultanan
Banten adalah Keraton Surosowan. Keraton Surosowan pertama kali didirikan
oleh Sultan Hassanudin (1552-1570).[39] Nama Surosowan diberikan oleh sultan sendiri dengan
petunjuk dari ayahnya, Sunan Gunung Jati.[40] Surosowan juga memiliki nama-nama lain seperti
gedong kedaton Pakuwuan dan "Fort Diamond" yang berarti kota
intan. Nama “Fort Diamond” diberikan oleh orang-orang Belanda.[41]
Sejak pertama kali dibangun,
Keraton Surosowan telah mengalami berbagai perubahan bentuk. Mengikuti pola
yang sama dengan pusat kota Jawa pada umumnya, keraton ini terletak di sebelah
selatan alun-alun dengan masjid di sebelah barat keraton, pasar karatangu di
sebelah timurnya, dan dilengkapi dengan pelabuhan yang ada di sebelah utara.[42] Di keraton ini juga diletakkan sebuah
batu keramat yang juga terdapat di alun-alun bernama Watu Gilang. Konon, batu
ini merupakan mandat dari Sunan Gunung Jati. Jika batu ini bergeser dari
tempatnya, itu berarti tidak lama lagi Kesultanan Banten akan mengalami
keruntuhan. Pada tahun 1596, keraton ini masih terlihat sangat sederhana yakni
berupa bangunan rumah yang dikelilingi oleh pagar dan beberapa bangunan yang
berada di selatan alun-alun.[43]
Pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa, Keraton ini mengalami kehancuran total hingga rata dengan
tanah akibat adanya perang antara Sultan dengan anaknya sendiri yakni Sultan
Haji. Setelah Sultan Haji naik tahta, keraton Surosowan dibangun kembali dengan bantuan Belanda. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda yang
bernama Hendrik Lucaszoon
Cardeelpada tahin 1680-1681. Namun, pada tahun 1808, keraton ini kembali
dihancurkan oleh Belanda setelah terjadi perselisihan antara Sultan
dengan Belanda. Dan sekarang sisa-sisa reruntuhan Keraton Surosowan ini kita lihat di Kampung
Kasemen, kecamatan Kasemen, kabupaten Serang.[44]
Selain dua peninggalan di atas, masih ada beberapa peninggalan
lainnya. Salah satunya adalah Benteng Speelwijk.
Benteng ini didirikan pada tahun 1684-1685. Namanya diambil dari nama seorang
gubernur Jenderal VOC yang bernama Speelma. Bangunan ini diarsitekturi olehHendrik
Lucaszoon Cardeel yang juga
merancang arsitektur Masjid Agung Banten.[45] BentengSpeelwijk merupakan lambang keruntuhan
kedaulatan dan independensi Kesultanan Banten. Dengan didirikannya benteng ini
oleh VOC, berarti Kesultanan Banten sudah berada di bawah kendali VOC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar