Minggu, 07 Juni 2015

Kesultanan Banten

   A.   Asal Mula Kesultanan Banten
Kesultanan Banten awalnya hanya sebuah kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran yang bercorak Hindu.[1] Wilayah kerajaan ini merupakan salah satu wilayah yang berpengaruh dalam jalur perdagangan internasional.[2] Banten merupakan salah satu pelabuhan terpenting kerajaan ini dan wilayah lain, di antaranya, Pontang, Tangerang, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Ekspor utama pelabuhan Banten adalah lada dan beras. Posisi Banten yang sangat strategis membuat wilayah ini menjadi tempat transit pedagang dari negara-negara lain seperti Maladewa serta kerajaan-kerajaan lain.[3]
            Pada tahun 1522 Jorge d’ Albuquerque, Gubernur Portugis di Malaka, mengirim Henrique menemui Raja Samiam[4] di Sunda untuk mengadakan perjanjian dagang dengannya. Pada tanggal 21 Agustus kesepakatan dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa akhirnya disepakati. Dalam perjanjian ini, Kerajaan Sunda berkewajiban membayar 1000 bahar lada setiap tahunnya dan Kerajaan Sunda Padjajaran memberikan sebuah wilayah untuk dijadikan benteng Portugis. Sebagai imbalannya, Portugis akan melindungi Kerajaan Sunda Padjajaran dari serangan Kerajaan Islam yang saat itu telah berkembang di Pulau Jawa bagian  tengah.[5] Akhrinya, Portugis diberikan izin untuk mendirikan kantor dagang di Sunda kelapa.

Perjanjian dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa tersebut tidak berhasil. Hal ini dikarenakan pada tahun 1925 wilayah Banten berhasil direbut dari kekuasan Sunda Padjajaran oleh pasukan dari Kesultanan Demak, salah satu kerajaan Islam di pulau Jawa.[6] Pasukan ini dipimpin oleh seorang guru besar serta panglima militer yang handal yang berasal dari sebenarnya berasal dari Pasai, yaitu Fatahillah. Beliau diutus langsung oleh Kerajaan Demak yang saat itu diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Trenggono. Alasan mengapa Fatahillah diutus untuk menaklukkan Jawa Barat sebenarnya adalah untuk menghalau pengaruh Portugis yang saat itu sudah melakukan perjanjian dagang dengan kerajaan Sunda Padjajaran.[7]
Pada tahun 1526, Sultan Trenggono mengutus Syarif Hidayatullah beserta pasukannya untuk menaklukkan Jawa Barat agar Portugis tidak dapat memasuki wilayah tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Fatahillah beserta pasukannya berhasil. Wilayah Banten akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Demak. Sebagai orang yang memimpin penaklukan tersebut, Syarif Hidayatullah langsung diberikan wewenang oleh Sultan Trenggono untuk memimpin wilayah Banten.[8]
Pada tahun 1552, Syarif Hidayatullah diharuskan kembali ke Cirebon. Cirebon merupakan wilayah yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah sebelum Banten. Setelah berhasil menaklukkan Banten, Syarif Hidayatullah diperintahkan oleh Sultan Trenggono untuk mengatur wilayah tersebut sehingga wilayah Cirebon diserahkan kepada salah seorang putra dari Syarif Hidayatullah yang bernama Pangeran Pasarean.[9] Namun, putra yang diberikan mandat untuk memimpin wilayah Cirebon tersebut wafat mendahului ayahnya. Alhasil, Syarif Hidayatullah pun hijrah ke Cirebon untuk menggantikan putranya tersebut. Daerah Banten diserahkan kepada putra lainnya yang bernama Hassanudin.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggono, Sultan kerajaan Demak gugur dalam penyeranganKerajaan Demak ke Pasuruan. Hal ini menyebabkan terjadinya kekacauan dalam tubuh Kerajaan Demak sendiri. Negara-negara bagian atau kadipaten berusaha untuk memisahkan diri.[10]Kerajaan Banten yang saat itu dipimpin oleh Hassanudin merupakan salah satu kadipaten yang ikut berusaha melepaskan diri dari kerajaan induknya, Demak. Akhirnya pada tahun 1568, Banten benar-benar terlepas dari kerajaan Demak. Pada tahun tersebut pula, Kerajaan Banten resmi berdiri dengan Maulana Hassanudin sebagai Sultan pertamanya.[11]
        B.       Masuknya Islam ke Banten
Islam telah memasuki wilayah Banten sebelum Kesultanan Banten berdiri. Agama ini dibawa oleh para pedagang Arab pada akhir abad ke-15.[12] Karena itu, posisi Banten sebagai jalur perdagangan internasional sangat menentukan dalam penyebaran Islam ke tanah Banten ini.
Setelah itu, Islamisasi di Banten dilanjutkan oleh seorang pemuda yang bernama Syarif Hidayatullah.[13] Beliau adalah cucu dari Prabu Siliwangi dari putrinya yang menikah dengan seorang pemimpin Ismailiyyah. Syarif Hidayatullah yang saat itu baru kembali ke tanah kelahiran ibundanya, Cirebon, mulai berdakwah di tanah Pasundan. Di Banten, beliau menikah dengan adik dari Bupati setempat yang bernama Nyai Kawunganten. Dari penikahannya ini, lahirlah dua anak, yakni Ratu Winahon dan Hassanudin.[14] Bersama putranya, Syarif Hidayatullah menyebarkan agama Islam hingga ke arah Gunung Pulosari.[15]
Setelah Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon, perjuangan dakwah Islam di Banten dilanjutkan oleh Hassanudin. Beliau berkelana dari Gunung Pulosari hingga Ujung Kulon. Dalam menyebarkan ajaran Islam, Hasanuddin menggunakan budaya penduduk setempat.[16] Karena itu, dakwahnya cepat diterima oleh masyarakat. Cara ini terus dilakukan oleh Hasanuddin hingga pada tahun 1525, beliau berhasil merebut kekuasaan Banten dari kerajaan Sunda Padjajaran dan mendirikan Kesultanan Islam.[17] Mulai saat itu, Islam disebarkan di Banten melalui kekuasaan.
      C.      Raja- Raja Kesultanan Banten
Sultan pertama yang memerintah Banten adalah Sultan Maulana Hasanudin. Beliaulah yang berhasil membebaskan Banten dari kekuasaan Kerajaan Demak. Maulana Hasanudin kemudian mengubah wilayah yang semula hanyalah sebuah kadipaten tersebut menjadi kesultanan.
Sultan Maulana Hasanudin adalah putra dari Syarif Hidayatullah, tokoh penaklukan Banten dari Kerajaan Sunda Padjajaran. Maulana Hasanudin memerintah dari tahun 1552 hingga 1570. Selama pemerintahannya, Sultan Maulana Hasanudin lebih fokus pada perluasan wilayah perdagangan dan tata keamanan kota. [18]
Sultan kedua yang memimpin Banten adalah Maulana Yusuf. Beliau adalah putra pertama dari Sultan Maulana Hassanudin dengan seorang putri Sultan Trenggono. Sama seperti ayahnya yang menggantikan kakeknya, beliau juga mewarisi tahta ayahnya. Sedangkan adiknya, Sunan Parwoto, menjadi Pangeran Jepara.[19] Maulana Yusuf memerintah selama 10 tahun mulai tahun 1570 hingga akhir hayatnya pada tahun 1580.
Sultan ketiga yang memegang tampuk pemerintahan Banten adalah Maulana Muhammad, putra Maulana Yusuf. Beliau diangkat menjadi seorang Sultan pada usia yang sangat muda.[20] Hal ini menyebabkan adanya perseteruan antara dirinya dan pamannya, yakni Pangeran Jepara. Alhasil, pada masa pemerintahannya, Maulana Muhammad harus menghadapi perlawanan dari pamannya sendiri. Namun, dengan dukungan ulama-ulama Banten, Maulana Muhammad berhasil membendung serangan Pangeran Jepara. Beliau pun dapat mempertahankan tahtanya.[21]
Sultan lainnya yang pernah memerintah Kesultanan Banten antara lain: 1. Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1605-1640), 2. Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (1640-1650), 3. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), 4. Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji (1682-1687), 5. Abdul Fadhl atau Sultan Yahya (1687-1690),  6. Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733), 7. Muhammad Syifa Zainul Ar atau Sultan Arifin (1733-1750), 8. Muhammad Wasi Zainifin (1750-1752), 9. Syarifuddin Artu Walikul Alimin (1752-1753), 10. Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773), 11. Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799), 12. Muhyidin Zainush Sholihin (1799-1801), 13. Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802), 14. Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803), 15. Aliyuddin II (1803-1808) , 16. Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809), dan 17. Muhammad Syafiuddin (1809-1813).[22]
      D .    Masa Kejayaan Kesultanan Banten 
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kejayaan tersebut berhasil diraih dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, maupun keagamaan.[23] Dalam bidang politik misalnya, Banten selalu membangun hubungan persahabatan dengan daerah-daerah lainnya. Daerah-daerah sahabat Banten yang berada di wilayah nusantara antara lain Cirebon, Lampung, Gowa, Ternate, dan Aceh. Selain itu, Kesultanan Banten juga menjalin hubungan persahabatan dengan negara-negara lain yang jauh dari nusantara. Salah satunya adalah dengan mengirim utusan diplomatik ke Inggris yang dipimpin oleh Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada 10 November 1681.[24]
Dalam bidang ekonomi, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengembangkan perdagangan Banten. Pada masanya, Banten menjadi salah satu tempat transit utama perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari berbagai negara, seperti Inggris, Perancis, Denmark, Portugis, Iran, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, dan Turki datang ke sini untuk memasarkan barang komoditas dari negeri mereka.[25] Walaupun saat itu Banten menghadapi persaingan dengan VOC, tetapi Sultan Ageng Tirtayasa tetap mampu menarik pedagang mancanegara tersebut untuk tetap berdagang di Banten. Hal ini disebabkan Banten tidak menerapkan monopoli perdagangan seperti yang dijalankan oleh VOC.[26]
Sultan Ageng Tirtayasa juga mendirikan keraton baru di wilayah Tirtayasa untuk memperkuat pertahanan kesultanannya. Dengan pembangunan keraton ini, wilayah Tirtayasa terus dibuka. Beliau membangun jalan dari Pontang ke Tirtayasa. Tidak hanya itu, Sultan Ageng juga membuka lahan-lahan persawahan sepanjang jalan tersebut serta mengembangkan pemukiman warga di daerah Tangerang.[27]  
       E .     Keruntuhan Kesultanan Banten
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa, Belanda sudah memulai taktik untuk menghancurkan Banten dari dalam, yakni dengan menghasut Sultan Haji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda mengadu domba Sultan Haji dengan ayahnya. Mereka menyebarkan isu bahwa orang yang akan menjadi pewaris tahta Banten adalah Pangeran Purbaya saudara Sultan Haji.[28]Hal ini membuat Sultan Haji merasa iri hati dan memutuskan untuk melancarkan serangan melawan ayahnya sendiri.
Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji akhirnya dapat melumpuhkan kesultanan Banten. Bahkan, karena peperangan antara ayah dan anak ini, Keraton Surosowan yang dibangun oleh nenek moyangnya hancur rata dengan tanah. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya dipenjara di Batavia hingga meninggal pada tahun 1692.[29] Alhasil, Sultan Haji yang bekerja sama dengan Belanda pun naik tahta.
Sejak saat itu, Kesultanan Banten sangat dipengaruhi oleh Belanda. Terlebih lagi setelah Sultan Haji mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda. Namun, perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Haji dengan Belanda ini justru merugikan Sultan Haji. Beliau harus membayar 12.000 ringgit dan menyetujui pendirian Benteng Speelwijk. Akibatnya, ekonomi dan politik Banten di monopoli oleh Belanda. Pergantian sultan selalu dicampuri dengan kepentingan Belanda. Pemberontakan pun terus terjadi. Kesultanan Banten perlahan-lahan mulai mengalami kemunduran.[30] Puncaknya, pada tahun 1808 Belanda menghancurkan Istana Surosowan dan menggantinya dengan Kabupaten Serang, Waringin, dan Lebak di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1813, Pemerintahan Inggris membubarkan Kesultanan Banten dan Pangeran Syafiudin yang sedang berkuasa dipaksa untuk turun tahta. Saat itulah Kesultanan Banten runtuh.[31]
F.       Peninggalan Kesultanan Banten
Peninggalan pertama dari Kesultanan Banten adalah Masjid Agung Banten. Masjid Agung Banten dibangun oleh Sultan Banten, yakni Maulana Hassanuddin dan putranya Maulana Yusuf  pada bulan Dzulhijjah tahun 966 H atau 1566 M.[32] Masjid Agung ini merupakan salah satu peninggalan yang sangat penting dikarenakan itu adalah salah satu dari 4 komponen utama  yang “wajib” ada di pusat kota Jawa zaman dahulu.[33] Masjid ini berlokasi di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.[34]
Masjid Agung Banten memiliki keunikan arsitektur tersendiri. Hal ini dikarenakan Masjid Agung Banten dirancang oleh tiga orang arsitek yang berasal dari tiga bangsa yang berbeda. Tiga orang arsitektur tersebut adalah Raden Sepat, seorang arsitek yang berasal dari Majapahit yang juga menggarap Masjid Cirebon, Tjek Ban Tjut yang berasal dari Cina serta Hendrik Lucaz Cardeel, seorang Belanda yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan. Masjid ini memiliki tiga corak arsitektur yang berbeda. Yang pertama, arsitektur lokal yang bisa terlihat dari empat sakaguru yang menopang masjid ini. Di tengahnya terdapat mimbar berukiran lokal. Arsitektur kedua adalah Cina yang terlihat dari bentuk atap paling atas masjid yang khas dengan bentuk atap Cina. Selain menegaskan kebudayaan Cina, atap masjid yang bertingkat lima juga menyimbolkan rukun Islam. Arsitektur yang ketiga adalah Belanda yang dipoleskan pada Menara setinggi 24 m yang berdiri tegak di sebelah timur masjid.[35] Dengan model tangga spiral serta kepala dua tingkatnya, menara ini menjadi pelengkap tiga kebudayaan yang diabadikan. Pada zaman dahulu menara ini difungsikan untuk mengumandangkan adzan serta sebagai menara pandang lepas pantai atau mercusuar.[36] Karena hasil karyanya ini, dua dari mereka dianugerahi gelar Bangsawan yaitu Tjek Ban Tjut yang diberi nama Pangeran Adiguna dan Hendrik Lucaz Cardeel dengan nama Pangeran Wiraguna.
Selain bangunan-bangunan di atas, di kompleks masjid ini juga ada sebuah paviliun di sebelah selatan masjid yang bernama Tiyamah. Bangunan ini berbentuk persegi empat bertingkat. Bangunan ini biasanya digunakan untuk musyawarah tentang permasalahan keagamaan. Di kawasan ini terdapat juga makam Raja- raja Kesultanan Banten.[37] Kini masjid ini menjadi salah satu objek wisata yang padat dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang biasanya bermaksud untuk berziarah. Namun, tidak jarang juga masjid ini menjadi tujuan bagi turis-turis asing yang ingin melihat keindahan sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banten.[38]
Peninggalan lain dari Kesultanan Banten adalah Keraton Surosowan. Keraton Surosowan pertama  kali didirikan oleh Sultan Hassanudin (1552-1570).[39] Nama Surosowan diberikan oleh sultan sendiri dengan petunjuk dari ayahnya, Sunan Gunung Jati.[40] Surosowan juga memiliki nama-nama lain seperti gedong kedaton Pakuwuan dan "Fort Diamond" yang berarti kota intan. Nama “Fort Diamond” diberikan oleh orang-orang Belanda.[41]
Sejak pertama kali dibangun, Keraton Surosowan telah mengalami berbagai perubahan bentuk. Mengikuti pola yang sama dengan pusat kota Jawa pada umumnya, keraton ini terletak di sebelah selatan alun-alun dengan masjid di sebelah barat keraton, pasar karatangu di sebelah timurnya, dan dilengkapi dengan pelabuhan yang ada di sebelah utara.[42] Di keraton ini juga diletakkan sebuah batu keramat yang juga terdapat di alun-alun bernama Watu Gilang. Konon, batu ini merupakan mandat dari Sunan Gunung Jati. Jika batu ini bergeser dari tempatnya, itu berarti tidak lama lagi Kesultanan Banten akan mengalami keruntuhan. Pada tahun 1596, keraton ini masih terlihat sangat sederhana yakni berupa bangunan rumah yang dikelilingi oleh pagar dan beberapa bangunan yang berada di selatan alun-alun.[43]
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Keraton ini mengalami kehancuran total hingga rata dengan tanah akibat adanya perang antara Sultan dengan anaknya sendiri yakni Sultan Haji. Setelah Sultan Haji naik tahta, keraton Surosowan dibangun kembali dengan bantuan Belanda. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda yang bernama Hendrik Lucaszoon Cardeelpada tahin 1680-1681. Namun, pada tahun 1808, keraton ini kembali dihancurkan oleh Belanda setelah terjadi perselisihan antara Sultan dengan Belanda. Dan sekarang sisa-sisa reruntuhan Keraton Surosowan ini kita lihat di Kampung Kasemen, kecamatan Kasemen, kabupaten Serang.[44]

Selain dua peninggalan di atas, masih ada beberapa peninggalan lainnya. Salah satunya adalah Benteng Speelwijk. Benteng ini didirikan pada tahun 1684-1685. Namanya diambil dari nama seorang gubernur Jenderal VOC yang bernama Speelma. Bangunan ini diarsitekturi olehHendrik Lucaszoon Cardeel yang juga merancang arsitektur Masjid Agung Banten.[45] BentengSpeelwijk merupakan lambang keruntuhan kedaulatan dan independensi Kesultanan Banten. Dengan didirikannya benteng ini oleh VOC, berarti Kesultanan Banten sudah berada di bawah kendali VOC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar